Hati seorang ayah adalah mahakarya alam.
— Abbé Prévost
1. Ode to My Father (2014, Yoon Je-kyoon)
Tahun 1950, Deok-soo dan keluarganya berlari-lari di tengah kekacauan ribuan warga yang berlomba-lomba menuju kapal tentara AS untuk meninggalkan Hungnam (kini Korea Utara). Terlepas dari adiknya, Mak-soon, ayah Deok-soo menyuruh Deok-soo mengantar ibu dan kedua adiknya yang lain untuk pergi terlebih dahulu serta menjaga mereka. Film ini menceritakan perjalanan hidup, tumbuh kembang Deok-soo; dari perannya sebagai kepala keluarga di usia belia, hingga akhirnya membentuk keluarganya sendiri.
Terinspirasi dari kisah nyata tentang anggota keluarga yang terpisah di masa Revolusi Hungnam, Ode to My Father hingga kini menempati posisi keempat film Korea Selatan dengan pendapatan terbanyak sepanjang masa di negaranya tersebut. Kesuksesan film ini bahkan menginspirasi sebuah remake dari India dengan judul Bharat (2019, Ali Abbas Zafar).
Sosok bapak merupakan jiwa utama dari cerita ini. Meskipun tidak hadir secara nyata, bagaimana Deok-soo menjalani kehidupannya selalu dimotori oleh harapan, kenangan, bahkan kekecewaan kepada ayahnya; hingga Deok-soo dewasa, menjadi ayah, sampai masa tuanya. Figur seorang bapak boleh jadi tidak selamanya hadir, namun pengaruhnya selalu hadir pada seorang anak yang dapat memercik rasa rindu dan menjadi penggerak.
2. Big Fish (2003, Tim Burton)
Dinamika orang tua-anak berubah seiring bertumbuhnya anak; tetapi di mata orang tua, anak akan selalu menjadi anak. Begitulah yang dirasakan Edward Bloom di masa tuanya, bersiteru dengan anak semata wayangnya, Will. Edward tidak berhenti mengabarkan kisah-kisah heroiknya di masa mudanya, termasuk salah satunya adalah perjumpaannya dengan sebuah ikan besar. Akan tetapi, bagi Will, cerita-cerita itu tidak lebih dari sekadar kisah-kisah pengantar tidur yang ia nikmati semasa kecil.
Unsur surealisme magis yang mengaburkan batas antara realita dan rekayasa merupakan salah satu karakteristik dari karya-karya Tim Burton. Selain itu, jejak-jejak Burton sepanjang film ini juga dapat dengan mudah terdeteksi dari visualnya yang hampir serupa dengan Edward Scissorhands (1990). Diangkat dari novel karya Daniel Wallace, Big Fish merupakan kolaborasi ke-9 dari komposer Danny Elfman dengan Burton.
Jika kehidupan adalah sebuah lingkaran, begitu pula dengan pola interaksi manusia; Big Fish menunjukkan hal tersebut pada interaksi ayah-anak. Pada masa belia, anak menganggap orang tua sebagai sosok panutan dengan segala pengetahuan yang mereka miliki. Beranjak dewasa, anak mulai merasa skeptis dan menilai orang tua dengan tolak ukurnya sendiri. Namun, di penghujung usia sang orang tua, anak akan melihat sosok orang tuanya kembali sebagai figur luar biasa yang tak tergantikan.
3. Like Father, Like Son (2013, Hirokazu Kore-eda)
Ryouta Nonomiya selalu merasa anak lelakinya, Keita, tidak berprestasi sesuai ekspektasinya sehingga hubungan mereka tidak erat. Rumah sakit tempat Keita dilahirkan, suatu ketika, mengabarkan bahwa Keita merupakan bayi yang tertukar dengan bayi lain ketika lahir. Kedua keluarga yang terlibat pun mulai menjalin hubungan dan mencoba berbagai cara untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan tersebut tanpa mencederai pihak manapun.
Dielu-elukan sebagai Yasujiro Ozu kontemporer, nama Kore-eda sudah lengket dengan film-film bertemakan drama keluarga dan pada film ini ia memenangkan Jury Prize di Festival Film Cannes 2013. Dalam salah satu wawancaranya, Kore-Eda mengaku bahwa dua bencana besar di Jepang yang terjadi pada tahun 2011 (Gempa-Tsunami Tohoku dan Bencana Nuklir Fukushima) secara tidak langsung mendorongnya untuk menekankan hubungan antarmanusia sebagai ciri khas Jepang.
Audiens mungkin dapat melihat jelas bahwa Kore-eda mengangkat pertanyaan yang selalu diajukan dalam pengasuhan anak, “Nature vs. Nurture”; manakah yang lebih berperan besar dalam membentuk karakter anak, bawaan atau binaan? Bagi audiens Jepang, judul asli film ini (そして父になる) menunjukkan sebuah penekanan lain dalam kehidupan orang tua: proses, serta kualifikasi untuk menjadi seorang ayah.
4. The Son’s Room (2001, Nanni Moretti)
Giovanni adalah seorang terapis, suami, dan ayah dari seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Hubungan keluarga Giovanni berlangsung harmonis sampai suatu hari Andrea, anak laki-lakinya, ditemukan meninggal saat menyelam bersama teman-temannya. Dunia keluarga tersebut pecah seketika, terutama Giovanni yang kesulitan untuk menghadapi pasien-pasiennya.
Jika Kore-eda adalah master film keluarga Jepang di era modern, maka Italia mempunyai Nanni Moretti. Moretti selalu melatari film-film keluarganya dari situasi aktualnya, pada saat itu, istri Moretti tengah mengandung anak laki-laki sehingga ia terdorong untuk menulis dan mengarahkan film tentang hubungan ayah dan anak. Film ini meraih penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes 2001.
Setiap orang ingin berumur panjang, namun hidup lebih panjang dari anak adalah mimpi buruk setiap orang tua, terutama ketika sang anak meninggal di usia muda dan dalam sebuah kecelakaan tragis. Dalam film ini, Moretti mengeksplor tema duka seorang ayah dengan menjabarkan tahap-tahap kesedihan: penolakan, amarah, penawara, depresi, hingga penerimaan yang berimbas ke anggota keluarga lainnya yang turut merasa kehilangan.
5. Lovely Man (2011, Teddy Soeriaatmadja)
Cahaya lama tidak bersua dengan ayahnya yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib di ibukota. Suatu hal yang Cahaya tidak sangka adalah ayahnya, Syaiful, bermatapencaharian sebagai bencong jalanan. Ipuy, demikian Syaiful dipanggil kini, menolak kedatangan Cahaya yang tiba-tiba dan sepanjang malam ayah-anak tersebut bergulat untuk saling menerima satu sama lain.
Tidak aneh bahwa film ini mendapat kecaman dari kelompok-kelompok tertentu yang menilai film ini immoral dan tidak pantas dipertontonkan publik. Di kancah internasional, Donny Damara selaku pemeran Ipuy mendapatkan penghargaan Aktor Terbaik di Festival Film Asia 2012. Di ajang yang sama, Teddy Soeriaatmadja juga mendapatkan nominasi untuk Sutradara Terbaik.
Di balik kritik pedas terhadap kerasnya hidup ibukota, Lovely Man menunjukkan satu lagi jenis relasi ayah-anak yang tidak biasa. Kendati tidak berkontak dengan ayahnya selama bertahun-tahun, anak tetap akan berlari kepada orang tuanya ketika buntu menghadapi sebuah masalah. Selain itu, ayah bukan lah sosok yang sempurna; segala kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya dapat terabaikan dengan komunikasi dan keterbukaan untuk menerima perbedaan.
6. Father and Daughter (2000, Michaël Dudok de Wit)
Dengan durasi 8 menit 30 detik, de Wit menciptakan animasi tanpa dialog yang sarat makna kekeluargaan. Seperti halnya dengan Ode to My Father (2014), Father and Daughter menunjukkan rindu seorang anak kepada ayahnya dengan tetap berpegang teguh pada harapan bahwa mereka akan bertemu lagi. Karya singkat ini mendapat predikat Film Animasi Singkat Terbaik untuk Academy Award tahun 2001.
Dapat diakses di sini.






