
Di balik kisahmu, selalu ada kisah ibu, karena ceritamu dimulai dari ceritanya.
– Mitch Albom
1. Good Bye, Lenin! (2003, Wolfgang Becker)

Christiane Kerner adalah seorang ibu tunggal dan aktivis Partai Persatuan Sosialis Jerman Timur yang berpegang teguh pada keyakinannya akan sosialisme, bahwa ideologi tersebut dapat mengubah negaranya dan dunia menjadi lebih baik. Setelah terkena serangan jantung dan sempat koma, Alex dan Ariane, kedua anaknya, memutuskan untuk menutupi fakta bahwa blok sosialis runtuh dan kedua belah Jerman telah bersatu kembali agar tidak memperparah penyakit ibunya.
Good Bye, Lenin! menggunakan pendekatan penceritaan unik untuk membahas isu politik global dan sejarah. Di satu sisi penonton dihadapkan dengan isu yang relatif berat namun penceritaannya ringan dan cenderung komik; menggunakan latar keluarga kecil untuk mengritik hal yang jangkauannya lebih luas. Komposer musik film ini, Yann Tiersen, juga merupakan penggubah musik film Prancis paling ikonik, Amélie (2001, Jean-Pierre Jeunet)
Film ini tentu berfungsi sebagai kritik tidak hanya pada sosialisme, namun juga pada kapitalisme yang semakin relevan pada masa kini. Akan tetapi, hampir setiap adegan dan kejadian dalam film ini dimotori oleh sentimen Alex, sang tokoh utama, terhadap ibunya. Perbedaan pendapat politik serta perspektif yang sebelumnya sangat hangat pun hilang ketika nyawa menjadi taruhan; keluarga tetap menjadi prioritas.
2. Wolf Children (2012, Mamoru Hosoda)

Di kampusnya, Hana jatuh cinta dengan seorang pria yang rupanya dapat berubah menjadi serigala. Tidak lama, keduanya memiliki dua orang anak: Ame dan Yuki, namun Hana terpaksa menjadi ibu tunggal karena sang ayah meninggal ketika berburu untuk kedua anaknya. Karena kondisi kedua anaknya yang tidak biasa, yang mewarisi kemampuan ayahnya menjadi serigala, mereka pindah ke pedesaan dan memulai hidup baru.
Mamoru Hosoda adalah animator Jepang yang mulai tenar dengan The Girl Who Leapt Through Time (2006), produksinya dengan studio besar, Madhouse. Hosoda meninggalkan Madhouse saat mengerjakan Wolf Children dan membangun Studio Chizu. Setiap tiga tahun sekali, Hosoda merilis animasi bertemakan keluarga yang membuatnya dijuluki Hirokazu Kore-eda animasi..
Hana adalah representasi dari setiap perempuan yang menjadi ibu tunggal di usia belia. Kesukaran yang dirasakan Hana bukan hanya mencari jalan terbaik untuk menopang kedua anaknya secara finansial, namun juga mencari cara terlibat dalam perkembangan anak-anaknya, serta untuk mendukung penuh keputusan anak dalam menentukan jalan hidupnya masing-masing.
3. Mother (2009, Bong Joon-ho)

Seorang janda dengan penghidupan pas-pas-an kerap mendapat masalah karena anak laki-laki tunggalnya, Do-joon yang mengidap gangguan intelektualitas. Oleh karena itu, Do-joon sering di-bully dan tidak jarang pula dimanfaatkan oleh teman-temannya. Suatu hari, Do-joon ditahan oleh polisi dengan tuduhan pembunuhan seorang gadis sekolah hanya karena Do-joon sedang berada di area tersebut saat pembunuhan terjadi. Yakin bahwa anaknya tidak bersalah, sang Ibu berkelana kesana-kemari mencari bukti dan saksi untuk membebaskan anaknya.
Nama Bong Joon-ho tidak asing lagi di kancah internasional, terutama sejak karyanya di tahun 2019, Parasite, mendapatkan penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes; penghargaan pertama untuk film Korea Selatan. Judul dari film keempatnya ini, Mother (마더 Madeo, dalam Bahasa Korea), adalah permainan kata yang tidak hanya merujuk ke kata ‘ibu’ dalam Bahasa Inggris, namun juga mengindikasikan kata ‘murder’, pembunuhan.
Ketika berjuta-juta jari menunjuknya sebagai pembunuh, seorang ibu berdedikasi akan tetap melihat anaknya sebagai malaikat. Sang ibu tak bernama dalam film ini adalah personifikasi dari cinta buta seorang ibu. Abai dengan ketidaksempurnaan anaknya, sang ibu rela keluar dari zona nyamannya dan rela membelah lautan untuk kesejahteraan sang anak.
4. Me, Myself, and Mum (2013, Guillaume Gallienne)

Sepanjang hidupnya,Guillaume selalu diejek karena pembawaan karakternya yang seperti perempuan, padahal ia seorang pria tulen. Film ini menunjukkan perjalanan Guillaume dari satu tempat ke tempat lain yang asing, di mana ia melakukan eksplorasi mengenai seksualitasnya sampai mengalami kebuntuan secara psikologis. Akhirnya, ia mencapai pada sebuah kesimpulan bahwa pembawaan dirinya berakar pada satu orang: ibunya.
Kisah ini merupakan saduran dari perjalanan hidup Gallienne yang sesungguhnya yang mulanya dikemas dalam bentuk pertunjukkan panggung tunggal. Oleh karena itu, tidak aneh bahwa film ini menggunakan menggunakan pendekatan teatrikal; Gallienne yang berperan ganda sebagai dirinya sendiri dan ibunya, serta alur naratif yang tidak kronologis.
Me, Myself, and Mum mungkin mengundang kritik tentang apakah seksualitas seseorang adalah dampak pengasuhan, tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri adalah karakter seseorang adalah cerminan dari pendidikan keluarga yang terbentuk secara tidak sadar. Orang tua memiliki cara-cara aneh menunjukkan kasih sayangnya kepada anak mereka yang mungkin tidak sempurna. Namun, sebagai orang dewasa, ketika memiliki perspektifnya sendiri, hal yang dapat dilakukan adalah menerima, memperbaiki, dan mengembangkan pengaruh orang tua, sesuai jalan hidup yang kita tempuh tanpa menyalahkan masa lalu.
5. Mountains May Depart (2015, Jia Zhangke)

Terbagi ke dalam 3 bagian yang saling berkaitan, Mountains May Depart menggambarkan dinamika cinta segitiga. Tao, seorang gadis yang ingin meninggalkan kampung halamannya, dihadapkan dengan opsi memilih satu di antara dua pria: Liangzi, buruh sederhana yang sudah lama akrab dengannya; atau Jingsheng, pengusaha visioner. Pilihan Tao berbuah ke dua kisah lain tentang hubungannya dengan anaknya.
Jia Zhangke merupakan satu sutradara Cina pada abad 21 yang aktif mengritik kehidupan Cina modern, Jia khususnya mengambil tema kehidupan anak muda dan keluarga Cina dengan latar ekonomi menengah ke bawah. Film ini merupakan kolaborasi ketujuh Jia dengan istrinya, Zhao Tao, yang bermain sebagai tokoh utama.
Babak kedua dan ketiga film memiliki fokus utama peran Tao sebagai ibu. Dalam sebuah wawancara, Jia mengakui film ini sangat personal baginya karena banyak unsur dari masa kecilnya yang ia jadikan inspirasi cerita. Judul ini merupakan metafora universal, baik dalam Bahasa Inggris maupun Mandarin (山河故人) hubungan manusia dapat diumpamakan tak lekang waktu; meskipun gunung terbelah, namun ikatan antarinsan, terutama ibu dan anak, tidak dapat terpisahkan.
6. Mother from Jambi (2014, Rikky M. Fajar & Anggun Pradesha)

Dokumenter singkat ini menceritakan kisah sederhana seorang ibu dari Jambi yang mengunjungi anak laki-lakinya di Jakarta yang telah mengalami transformasi menjadi perempuan. Fenomena coming out adalah hal yang jarang di Indonesia, terlebih lagi inklusivitas terhadap para trans dan non-biner. Film pendek ini menunjukkan penerimaan tak bersyarat orang tua terhadap anak.
