6 FILM YANG MENGENANG MASA KECIL

Tahu kah kamu? Masa kecil adalah satu-satunya masa kita diizinkan dan diharapkan menjadi gila?

– Louis de Bernières

1. Quand je serai petit (2012, Jean-Paul Rouve)

Bertemu dengan orang asing yang mirip dengan diri sendiri kadang terjadi pada banyak orang, namun hal unik menimpa Mathias. Tidak sengaja, ia menemukan anak laki-laki bernama sama yang tidak hanya mirip dengan dirinya sewaktu kecil, detil-detil kecil dari letak luka hingga hobi mereka pun sama. Ketika Mathias melihat keluarga Mathias kecil yang juga persis dengan keluarganya dulu, Mathias dewasa merasa mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya.

Jean-Paul Rouve sebelumnya lebih di kenal sebagai aktor, namun di film ini ia juga berperan sebagai tokoh utama, penulis cerita, produser, serta sutradara. Rouve selalu tertarik dengan karya-karya berbau melankolis dan ia mengaku kesulitan menemukan aktor untuk Mathias kecil sampai ia menonton The White Ribbon (2009, Michael Haneke) dan melihat Miljan Chatelain.

Sepanjang film penonton mungkin akan bertanya apakah film ini mengandung unsur fantastis karena sangat lebih mungkin bagi Mathias untuk menemukan anak kecil yang sangat mirip dengan dirinya jika ia kembali ke masa lalu, ketimbang di kehidupan sesungguhnya. Quand je serai petit, Ketika Aku Kecil Nanti, adalah sebuah paradoks yang merepresentasikan penyesalan.

2. Banyu Biru (2005, Teddy Soeriaatmadja)

Tenggelam dalam rutinitas yang berkelanjutan dan membosankan, Banyu, seorang pekerja di sebuah pasar swalayan, memutuskan untuk mengunjungi kampung halamannya. Lama sudah ia mengabaikan masa lalunya yang kelam. Semenjak adiknya, Biru, meninggal waktu kecil, Banyu memiliki hubungan dingin dengan kedua orang tuanya. Kali ini, Banyu hendak menelusuri jejak kehidupannya ke masa lampau untuk menemukan identitas diri menjadi manusia baru.

Banyu Biru merupakan film bioskop pertama garapan Teddy Soeriaatmadja. Meskipun demikian, sejumlah nama besar di industri hiburan Indonesia menghiasi layar: Tora Soediro, Dian Sastrowardoyo, Slamet Rahardjo, dan bahkan bintang musik rock Slank turut berperan sebagai komposernya.

Kehilangan anggota keluarga di usia belia secara tragis tentu akan menorehkan luka dalam keluarga. Keluarga Banyu tidak melakukan rekonsiliasi yang baik dan kemudian berdampak pada Banyu hingga dewasa, menjadi acuh dalam mencari gairah hidup. Progres Banyu dalam menemukan jati diri tampak dari penggunaan tema warna yang kian berganti seiring berjalannya cerita.

3. Only Yesterday (1991, Isao Takahata)

Tahun 1982, dalam perjalanannya dari Tokyo ke kerabatnya di Yamagata, Taeko Okajima mulai mengenang masa kecilnya di tahun 1966. Alur cerita film ini selang-seling antara kisah Taeko kecil dan dewasa yang saling berkaitan dengan menekankan pertumbuhan Taeko dari gadis lugu dengan sejuta impian, kini menjadi perempuan dewasa pekerja keras dengan segudang masalah klasik.

Disadur dari sebuah komik Jepang karangan Hotaru Okamoto dan Yuki Tone, karya sang animasi master Jepang, Isao Takahata, ini cukup berbeda dari film garapan Studio Ghibli yang lain. Temanya memang menargetkan para audiens perempuan dewasa, sebagai reaksi Takahata akan maraknya animasi yang bertemakan robot-robot berperang yang lebih mengutamakan penonton laki-laki muda.

Meskipun demikian, film ini tetap dapat relevan bagi banyak orang karena cerita-ceritanya episodik dengan varian kisah yang tentu hampir setiap orang alami: dari masalah sekolah, percintaan, karier, dan keluarga. Kilas balik Taeko kecil juga berperan sebagai gambaran kehidupan Jepang tahun 1960-an dengan menyentuh unsur-unsur pop kultur pada masa tersebut.

4. Toy Story 3 (2010, Lee Unkrich)

Woody dan teman-temannya pada kali ini harus menghadapi nasib menjadi mainan sumbangan di sebuah taman kanak-kanak. Meski sudah lama tidak berinteraksi, Woody masih memegang harapan penuh kepada pemiliknya, Andy, serta mencari cara untuk kembali padanya. Di lain pihak, teman-temannya merasa lebih dihargai di tempat baru mereka tanpa sadar akan system hierarki mainan yang terdapat di taman kanak-kanak tersebut.

Pamor yang luar biasa membuat film ini tidak perlu mendapatkan pengenalan yang lebih detil. Sebagai film dengan pendapatan terbesar di tahun rilisnya, Toy Story 3 menggaet berbagai pengharagaan dan pujian dari berbagai kalangan. Ini adalah debut pertama Lee Unkrich, yang kini meninggalkan Pixar, sebagai sutradara tunggal setelah lama berperan di balik layar dalam film-film Pixar sejak film Toy Story pertama (1995).

Tidak lekang oleh waktu, Toy Story 3 akan selalu relevan dengan semua audiens berbagai usia dan latar belakang. Setiap orang tentu memiliki barang kesayangannya waktu kecil, terutama mainan, apa pun jenis dan bentuknya. Kapan kita mulai berhenti berinteraksi dengan mereka, kita mungkin tidak sadar; perkembangan manusia menjadi dewasa adalah suatu fenomena unik karena fisik dan psikis kita berjalan dengan waktu, namun tidak bagi para mainan ini.

5. Now and Then (1995, Lesli Linka Glatter)

Empat perempuan dengan karakter berbeda: Roberta, Teeny, Samantha, dan Chrissy, adalah teman akrab sejak kecil dan kini berkumpul di kota kelahiran mereka, mengunjungi Chrissy yang sebentar lagi akan melahirkan anak pertamanya. Keempat perempuan tersebut bernostalgia tentang kisah libur musim panas mereka di tahun 1970 yang penuh petualangan, misteri, dan drama.

Mendapat beberapa kritik karena beberapa aspeknya mirip dengan Stand By Me (1986, Rob Reiner), Now and Then memiliki signifikansi dalam menyentuh kisah pubertas pra-remaja perempuan, tema yang jarang diangkat ke layar lebar pada masa itu. Unsur menonjol lain pada film ini adalah penggunaan lagu-lagu pop pada masa tersebut, mulai dari The Jackson 5 sampai The Monkees, untuk menunjukkan latar temporal film.

Unsur nostalgia karakter Now and Then tidak sekencang film-film lain pada daftar ini; kisah keempat karakter pada dewasa hanya dijadikan alat pembuka dan penutup film karena fokus dari film adalah kisah musim panas empat perempuan pra-remaja. Akan tetapi, film ini dapat membangkitkan memori masa kecil dengan menyaksikan diskusi para tokoh seputar isu keluarga, pacaran, seks, dan pertemanan yang dari kacamata orang dewasa dianggap lugu.

6.  Someone’s Gaze (2013, Makoto Shinkai)

Dibantu oleh perusahaan real estate Nomura, Makoto Shinkai menghasilkan animasi singkat berdurasi 6 menit dan 40 detik dengan cerita dari sudut pandang seorang perempuan bernama Aya. Setelah mendapat telepon dari sang ayah yang tinggal di kampung halamannya, Aya bernostalgia tentang masa kecil yang ia habiskan bersama kedua orang tua serta kucing kesayangannya, Mii. Mengambil latar di masa depan, Shinkai menunjukkan bahwa pola masa kecil seseorang tidak pernah berubah dari masa ke masa.

Dapat diakses di sini.

6 FILM YANG AKAN MEMBUATMU INGIN SUNGKEM KE IBU

Di balik kisahmu, selalu ada kisah ibu, karena ceritamu dimulai dari ceritanya.

– Mitch Albom

1. Good Bye, Lenin! (2003, Wolfgang Becker)

Christiane Kerner adalah seorang ibu tunggal dan aktivis Partai Persatuan Sosialis Jerman Timur yang berpegang teguh pada keyakinannya akan sosialisme, bahwa ideologi tersebut dapat mengubah negaranya dan dunia menjadi lebih baik. Setelah terkena serangan jantung dan sempat koma, Alex dan Ariane, kedua anaknya, memutuskan untuk menutupi fakta bahwa blok sosialis runtuh dan kedua belah Jerman telah bersatu kembali agar tidak memperparah penyakit ibunya.

Good Bye, Lenin! menggunakan pendekatan penceritaan unik untuk membahas isu politik global dan sejarah. Di satu sisi penonton dihadapkan dengan isu yang relatif berat namun penceritaannya ringan dan cenderung komik; menggunakan latar keluarga kecil untuk mengritik hal yang jangkauannya lebih luas. Komposer musik film ini, Yann Tiersen, juga merupakan penggubah musik film Prancis paling ikonik, Amélie (2001, Jean-Pierre Jeunet)

Film ini tentu berfungsi sebagai kritik tidak hanya pada sosialisme, namun juga pada kapitalisme yang semakin relevan pada masa kini. Akan tetapi, hampir setiap adegan dan kejadian dalam film ini dimotori oleh sentimen Alex, sang tokoh utama, terhadap ibunya. Perbedaan pendapat politik serta perspektif yang sebelumnya sangat hangat pun hilang ketika nyawa menjadi taruhan; keluarga tetap menjadi prioritas.

2. Wolf Children (2012, Mamoru Hosoda)

Di kampusnya, Hana jatuh cinta dengan seorang pria yang rupanya dapat berubah menjadi serigala. Tidak lama, keduanya memiliki dua orang anak: Ame dan Yuki, namun Hana terpaksa menjadi ibu tunggal karena sang ayah meninggal ketika berburu untuk kedua anaknya. Karena kondisi kedua anaknya yang tidak biasa, yang mewarisi kemampuan ayahnya menjadi serigala, mereka pindah ke pedesaan dan memulai hidup baru.

Mamoru Hosoda adalah animator Jepang yang mulai tenar dengan The Girl Who Leapt Through Time (2006), produksinya dengan studio besar, Madhouse. Hosoda meninggalkan Madhouse saat mengerjakan Wolf Children dan membangun Studio Chizu. Setiap tiga tahun sekali, Hosoda merilis animasi bertemakan keluarga yang membuatnya dijuluki Hirokazu Kore-eda animasi..

Hana adalah representasi dari setiap perempuan yang menjadi ibu tunggal di usia belia. Kesukaran yang dirasakan Hana bukan hanya mencari jalan terbaik untuk menopang kedua anaknya secara finansial, namun juga mencari cara terlibat dalam perkembangan anak-anaknya, serta untuk mendukung penuh keputusan anak dalam menentukan jalan hidupnya masing-masing.

3. Mother (2009, Bong Joon-ho)

Seorang janda dengan penghidupan pas-pas-an kerap mendapat masalah karena anak laki-laki tunggalnya, Do-joon yang mengidap gangguan intelektualitas. Oleh karena itu, Do-joon sering di-bully dan tidak jarang pula dimanfaatkan oleh teman-temannya. Suatu hari, Do-joon ditahan oleh polisi dengan tuduhan pembunuhan seorang gadis sekolah hanya karena Do-joon sedang berada di area tersebut saat pembunuhan terjadi. Yakin bahwa anaknya tidak bersalah, sang Ibu berkelana kesana-kemari mencari bukti dan saksi untuk membebaskan anaknya.

Nama Bong Joon-ho tidak asing lagi di kancah internasional, terutama sejak karyanya di tahun 2019, Parasite, mendapatkan penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes; penghargaan pertama untuk film Korea Selatan. Judul dari film keempatnya ini, Mother (마더 Madeo, dalam Bahasa Korea), adalah permainan kata yang tidak hanya merujuk ke kata ‘ibu’ dalam Bahasa Inggris, namun juga mengindikasikan kata ‘murder’, pembunuhan.

Ketika berjuta-juta jari menunjuknya sebagai pembunuh, seorang ibu berdedikasi akan tetap melihat anaknya sebagai malaikat. Sang ibu tak bernama dalam film ini adalah personifikasi dari cinta buta seorang ibu. Abai dengan ketidaksempurnaan anaknya, sang ibu rela keluar dari zona nyamannya dan rela membelah lautan untuk kesejahteraan sang anak.

4. Me, Myself, and Mum (2013, Guillaume Gallienne)

Sepanjang hidupnya,Guillaume selalu diejek karena pembawaan karakternya yang seperti perempuan, padahal ia seorang pria tulen. Film ini menunjukkan perjalanan Guillaume dari satu tempat ke tempat lain yang asing, di mana ia melakukan eksplorasi mengenai seksualitasnya sampai mengalami kebuntuan secara psikologis. Akhirnya, ia mencapai pada sebuah kesimpulan bahwa pembawaan dirinya berakar pada satu orang: ibunya.

Kisah ini merupakan saduran dari perjalanan hidup Gallienne yang sesungguhnya yang mulanya dikemas dalam bentuk pertunjukkan panggung tunggal. Oleh karena itu, tidak aneh bahwa film ini menggunakan menggunakan pendekatan teatrikal; Gallienne yang berperan ganda sebagai dirinya sendiri dan ibunya, serta alur naratif yang tidak kronologis.

Me, Myself, and Mum mungkin mengundang kritik tentang apakah seksualitas seseorang adalah dampak pengasuhan, tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri adalah karakter seseorang adalah cerminan dari pendidikan keluarga yang terbentuk secara tidak sadar. Orang tua memiliki cara-cara aneh menunjukkan kasih sayangnya kepada anak mereka yang mungkin tidak sempurna. Namun, sebagai orang dewasa, ketika memiliki perspektifnya sendiri, hal yang dapat dilakukan adalah menerima, memperbaiki, dan mengembangkan pengaruh orang tua, sesuai jalan hidup yang kita tempuh tanpa menyalahkan masa lalu.

5. Mountains May Depart (2015, Jia Zhangke)

Terbagi ke dalam 3 bagian yang saling berkaitan, Mountains May Depart menggambarkan dinamika cinta segitiga. Tao, seorang gadis yang ingin meninggalkan kampung halamannya, dihadapkan dengan opsi memilih satu di antara dua pria: Liangzi, buruh sederhana yang sudah lama akrab dengannya; atau Jingsheng, pengusaha visioner. Pilihan Tao berbuah ke dua kisah lain tentang hubungannya dengan anaknya.

Jia Zhangke merupakan satu sutradara Cina pada abad 21 yang aktif mengritik kehidupan Cina modern, Jia khususnya mengambil tema kehidupan anak muda dan keluarga Cina dengan latar ekonomi menengah ke bawah. Film ini merupakan kolaborasi ketujuh Jia dengan istrinya, Zhao Tao, yang bermain sebagai tokoh utama.

Babak kedua dan ketiga film memiliki fokus utama peran Tao sebagai ibu. Dalam sebuah wawancara, Jia mengakui film ini sangat personal baginya karena banyak unsur dari masa kecilnya yang ia jadikan inspirasi cerita. Judul ini merupakan metafora universal, baik dalam Bahasa Inggris maupun Mandarin (山河故人) hubungan manusia dapat diumpamakan tak lekang waktu; meskipun gunung terbelah, namun ikatan antarinsan, terutama ibu dan anak, tidak dapat terpisahkan.

6. Mother from Jambi (2014, Rikky M. Fajar & Anggun Pradesha)

Dokumenter singkat ini menceritakan kisah sederhana seorang ibu dari Jambi yang mengunjungi anak laki-lakinya di Jakarta yang telah mengalami transformasi menjadi perempuan. Fenomena coming out adalah hal yang jarang di Indonesia, terlebih lagi inklusivitas terhadap para trans dan non-biner. Film pendek ini menunjukkan penerimaan tak bersyarat orang tua terhadap anak.

6 FILM YANG AKAN MEMBUATMU INGIN SUNGKEM KE BAPAK

Hati seorang ayah adalah mahakarya alam.

— Abbé Prévost

1. Ode to My Father (2014, Yoon Je-kyoon)

Tahun 1950, Deok-soo dan keluarganya berlari-lari di tengah kekacauan ribuan warga yang berlomba-lomba menuju kapal tentara AS untuk meninggalkan Hungnam (kini Korea Utara). Terlepas dari adiknya, Mak-soon, ayah Deok-soo menyuruh Deok-soo mengantar ibu dan kedua adiknya yang lain untuk pergi terlebih dahulu serta menjaga mereka. Film ini menceritakan perjalanan hidup, tumbuh kembang Deok-soo; dari perannya sebagai kepala keluarga di usia belia, hingga akhirnya membentuk keluarganya sendiri.

Terinspirasi dari kisah nyata tentang anggota keluarga yang terpisah di masa Revolusi Hungnam, Ode to My Father hingga kini menempati posisi keempat film Korea Selatan dengan pendapatan terbanyak sepanjang masa di negaranya tersebut. Kesuksesan film ini bahkan menginspirasi sebuah remake dari India dengan judul Bharat (2019, Ali Abbas Zafar).

Sosok bapak merupakan jiwa utama dari cerita ini. Meskipun tidak hadir secara nyata, bagaimana Deok-soo menjalani kehidupannya selalu dimotori oleh harapan, kenangan, bahkan kekecewaan kepada ayahnya; hingga Deok-soo dewasa, menjadi ayah, sampai masa tuanya. Figur seorang bapak boleh jadi tidak selamanya hadir, namun pengaruhnya selalu hadir pada seorang anak yang dapat memercik rasa rindu dan menjadi penggerak.

2. Big Fish (2003, Tim Burton)

Dinamika orang tua-anak berubah seiring bertumbuhnya anak; tetapi di mata orang tua, anak akan selalu menjadi anak. Begitulah yang dirasakan Edward Bloom di masa tuanya, bersiteru dengan anak semata wayangnya, Will. Edward tidak berhenti mengabarkan kisah-kisah heroiknya di masa mudanya, termasuk salah satunya adalah perjumpaannya dengan sebuah ikan besar. Akan tetapi, bagi Will, cerita-cerita itu  tidak lebih dari sekadar kisah-kisah pengantar tidur yang ia nikmati semasa kecil.

Unsur surealisme magis yang mengaburkan batas antara realita dan rekayasa merupakan salah satu karakteristik dari karya-karya Tim Burton. Selain itu, jejak-jejak Burton sepanjang film ini juga dapat dengan mudah terdeteksi dari visualnya yang hampir serupa dengan Edward Scissorhands (1990). Diangkat dari novel karya Daniel Wallace, Big Fish merupakan kolaborasi ke-9 dari komposer Danny Elfman dengan Burton.

Jika kehidupan adalah sebuah lingkaran, begitu pula dengan pola interaksi manusia; Big Fish menunjukkan hal tersebut pada interaksi ayah-anak. Pada masa belia, anak menganggap orang tua sebagai sosok panutan dengan segala pengetahuan yang mereka miliki. Beranjak dewasa, anak mulai merasa skeptis dan menilai orang tua dengan tolak ukurnya sendiri. Namun, di penghujung usia sang orang tua, anak akan melihat sosok orang tuanya kembali sebagai figur luar biasa yang tak tergantikan.

3. Like Father, Like Son (2013, Hirokazu Kore-eda)

Ryouta Nonomiya selalu merasa anak lelakinya, Keita, tidak berprestasi sesuai ekspektasinya sehingga hubungan mereka tidak erat. Rumah sakit tempat Keita dilahirkan, suatu ketika, mengabarkan bahwa Keita merupakan bayi yang tertukar dengan bayi lain ketika lahir. Kedua keluarga yang terlibat pun mulai menjalin hubungan dan mencoba berbagai cara untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan tersebut tanpa mencederai pihak manapun.

Dielu-elukan sebagai Yasujiro Ozu kontemporer, nama Kore-eda sudah lengket dengan film-film bertemakan drama keluarga dan pada film ini ia memenangkan Jury Prize di Festival Film Cannes 2013. Dalam salah satu wawancaranya, Kore-Eda mengaku bahwa dua bencana besar di Jepang yang terjadi pada tahun 2011 (Gempa-Tsunami Tohoku dan Bencana Nuklir Fukushima) secara tidak langsung mendorongnya untuk menekankan hubungan antarmanusia sebagai ciri khas Jepang.

Audiens mungkin dapat melihat jelas bahwa Kore-eda mengangkat pertanyaan yang selalu diajukan dalam pengasuhan anak, “Nature vs. Nurture”; manakah yang lebih berperan besar dalam membentuk karakter anak, bawaan atau binaan? Bagi audiens Jepang, judul asli film ini (そして父になる) menunjukkan sebuah penekanan lain dalam kehidupan orang tua: proses, serta kualifikasi untuk menjadi seorang ayah.

4. The Son’s Room (2001, Nanni Moretti)

Giovanni adalah seorang terapis, suami, dan ayah dari seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Hubungan keluarga Giovanni berlangsung harmonis sampai suatu hari Andrea, anak laki-lakinya, ditemukan meninggal saat menyelam bersama teman-temannya. Dunia keluarga tersebut pecah seketika, terutama Giovanni yang kesulitan untuk menghadapi pasien-pasiennya.

Jika Kore-eda adalah master film keluarga Jepang di era modern, maka Italia mempunyai Nanni Moretti. Moretti selalu melatari film-film keluarganya dari situasi aktualnya, pada saat itu, istri Moretti tengah mengandung anak laki-laki sehingga ia terdorong untuk menulis dan mengarahkan film tentang hubungan ayah dan anak. Film ini meraih penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes 2001.

Setiap orang ingin berumur panjang, namun hidup lebih panjang dari anak adalah mimpi buruk setiap orang tua, terutama ketika sang anak meninggal di usia muda dan dalam sebuah kecelakaan tragis. Dalam film ini, Moretti mengeksplor tema duka seorang ayah dengan menjabarkan tahap-tahap kesedihan: penolakan, amarah, penawara, depresi, hingga penerimaan yang berimbas ke anggota keluarga lainnya yang turut merasa kehilangan.

5. Lovely Man (2011, Teddy Soeriaatmadja)

Cahaya lama tidak bersua dengan ayahnya yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengadu nasib di ibukota. Suatu hal yang Cahaya tidak sangka adalah ayahnya, Syaiful, bermatapencaharian sebagai bencong jalanan. Ipuy, demikian Syaiful dipanggil kini, menolak kedatangan Cahaya yang tiba-tiba dan sepanjang malam ayah-anak tersebut bergulat untuk saling menerima satu sama lain.

Tidak aneh bahwa film ini mendapat kecaman dari kelompok-kelompok tertentu yang menilai film ini immoral dan tidak pantas dipertontonkan publik. Di kancah internasional, Donny Damara selaku pemeran Ipuy mendapatkan penghargaan Aktor Terbaik di Festival Film Asia 2012. Di ajang yang sama, Teddy Soeriaatmadja juga mendapatkan nominasi untuk Sutradara Terbaik.

Di balik kritik pedas terhadap kerasnya hidup ibukota, Lovely Man menunjukkan satu lagi jenis relasi ayah-anak yang tidak biasa. Kendati tidak berkontak dengan ayahnya selama bertahun-tahun, anak tetap akan berlari kepada orang tuanya ketika buntu menghadapi sebuah masalah. Selain itu, ayah bukan lah sosok yang sempurna; segala kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya dapat terabaikan dengan komunikasi dan keterbukaan untuk menerima perbedaan.

6. Father and Daughter (2000, Michaël Dudok de Wit)

Dengan durasi 8 menit 30 detik, de Wit menciptakan animasi tanpa dialog yang sarat makna kekeluargaan. Seperti halnya dengan Ode to My Father (2014), Father and Daughter menunjukkan rindu seorang anak kepada ayahnya dengan tetap berpegang teguh pada harapan bahwa mereka akan bertemu lagi. Karya singkat ini mendapat predikat Film Animasi Singkat Terbaik untuk Academy Award tahun 2001.

Dapat diakses di sini.

Design a site like this with WordPress.com
Get started